Waktu itu, angin masih berhembus dari barat, matahari
duduk di selatan. Batang-batang jagung merunduk mengejarnya. Kicau burung tak
terdengar, mereka bermigrasi ke tempat yang lebih hangat. Pelepah-pelepah kurma
menari disapa angin. Butir-butir pasir berdesis di udara menghalangi sinar
matahari. Waktu pagi masih begitu dingin aku terbangun sendiri, kau telah
pergi.
Aku yang setengah tak percaya berlari keluar mencarimu
sampai tiba-tiba badai pasir menampar wajahku, aku jatuh tersungkur.
Samar-samar kulihat bayangan berjalan pergi diantara debu-debu yang beterbangan,
pelan- pelan semakin jauh. Aku berteriak semampuku memanggil bayangan itu tapi
dia tak mendengar, mungkin angin berhembus terlalu kencang. Sampai pelan-pelan
dia hilang di tengah badai.
Kini, angin berhembus dari timur, matahari berdiri di
utara. Batang-batang jagung yang telah lama mengering berserakan di ladang. Butiran pasir bertapa, matahari sombong menantang.
Burung-burung sudah kembali, kicaunya hangatkan pagi. Pohon-pohon kurma ranum
berbuah, tandannya merunduk disesaki butiran-butiran berwarna hijau. Pada pasir
yang diam, pada mentari yang angkuh, pada burung yang gembira aku bertanya
dimana dirimu kini, mereka Cuma tertawa.
Waktu
pagi mulai gerah, ku lukis wajahmu di pasir. Angin datang menghampiriku lalu
tersenyum padaku, pelan-pelan sebelah tangannya merangkul pundakku, tangan
lainnya lembut menyeka gambarmu hingga menjadi gumpalan debu. Duhai kau yang
pergi, kaulah hujan di padang pasir, singgah sejenak menyejukkan hati lalu
pergi entah kapan kembali. Wahai air, datanglah sekali lagi sekedar untuk mendinginkan
tanah agar tak terlalu panas saat dipijak. Wahai hujan, singgahlah sekali lagi
sekedar untuk basahi lidah seorang musafir yang berteduh di bawah pohon akasia yang
hampir kering di tepi gurun.
(WL) DOH-Qa,
Summer 2012
ilustrasi: sophie jacobson
No comments:
Post a Comment