Dari 216,977 km jalur kereta api di Jawa Barat yang sudah tidak aktif lagi, terdapat diantaranya adalah jalur kereta api yang menghubungkan Rancaekek (kab. Bandung), Jatinangor dan Tanjungsari (kab. Sumedang) sepanjang 11,4 km (Pikiran Rakyat dalam http://bataviase.co.id) –sumber lain menyebutkan 11,2 km-. Dalam kesempatan ini, saya baru dapat melakukan tracking jalur tersebut dari Rancaekek sampai Jatinangor sepanjang kurang lebih 4 km.
Percabangan jalur KA Rancaekek-Cicalengka dan Rancaekek-Jatinangor |
Dalam http://id.wikipedia.org di katakan, jalur ini dibuat oleh perusahaan kereta api Belanda (Staat Spoorwagon Verenidge Spoorwegbedrijf / SS) pada tahun 1918 sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet di Jatinangor –dan perkebunan lainnya seperti perkebunan kopi di Tanjungsari (red.)-, tetapi pada foto-foto yang saya temukan di situs Collectie Troopenmuseum – Belanda yang menggambarkan pembuatan jalur KA tersebut, terdapat tulisan tangan tahun pemotretannya, yaitu 1916. Masih menurut Wikipedia, jalur ini sudah tidak aktif sejak jaman pendudukan Jepang, dan relnya dipindahkan ke Bayah (Lebak) untuk membuat jalur pengangkutan batu bara, tapi www.pikiran-rakyat.com dan banyak sumber lain menyebutkan bahwa jalur ini tidak aktif sejak tahun 1978, entahlah mana yang benar.
Ujung gang Bbk. Nanjung menuju bekas titik percabangan rel kereta api |
Seperti dikatakan pada tulisan sebelumnya, penelusuran dimulai di stasiun Rancaekek (+668 m dpl) untuk mencari bekas titik percabangan antara jalur KA yang masih aktif (jalur Rancaekek-Cicalengka) dan jalur mati KA Rancaekek-Jatinangor. Bekas percabangan ini berada + 100 m sebelah timur stasiun Rancaekek dan sekarang hanya berupa pematang sawah, tapi bekas-bekas jalur KA masih terlihat jelas jika dilihat dari Google-Map. Untuk mencapai kesini hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki.
Gang Babakan Nanjung (dilihat dari Jl. Rancaekek-Majalaya) |
Jl. Bojongpulus (dilihat dari Jl. Raya Bandung-Garut) |
Courtesy: Collectie Troopenmuseum Terlihat dari lingkungan sekitarnya, mungkin saja ini jembatan saat melintasisungai Cikeruh yang memotong jalur rel di sekitar Bojongpulus |
Percabangan ini berbelok ke utara –sekarang telah menjadi gang Babakan Nanjung- lalu memotong jalan raya Rancaekek-Majalaya, kemudian masuk ke jalan kecil yang sekarang disebut jl. Bojongpulus. Kemudian jalur KA memotong jalan raya Bandung-Garut di sekitar wilayah Bojongloa, lalu di sebelah gudang ABC (maaf, warga disekitar menyebutnya begitu karena kebetulan di sekitar situ ada gudang salah satu produsen syrup dan kecap terkenal), lalu masuk ke jl. Cipeundeuy.
Jl. Cipeundeuy (dilihat dari Jl. raya Bandung-Garut) |
Suasana di sekitar ujung jl. Cipeundeuy hampir tidak terlihat jejak-jejak rel KA |
Dari gang Babakan Nanjung hingga jl. Bojongpulus, sisa-sisa jalur rel masih dapat terlihat berupa gang yang tepat lurus. Akan tetapi setelah memasuki jl. Cipeundeuy sisa-sisa jalur KA mulai tidak terlihat, bahkan di ujung jl. Cipeundeuy hingga Jatinangor sisa-sisa jalur KA hampir tidak terlihat karena sudah dijadikan perkampungan, sawah, ladang bahkan hanya berupa semak belukar.
Viaduct Jatinangor dekat kampus Ikopin |
Courtesy: Collectie Troopenmuseum |
Bekas jembatan Belanda masih bisa terlihat dengan jelas jika kita melihat ke bawah jembatan |
Courtesy: Collectie Troopenmuseum Jalan raya Bandung-Sumedang yang merupakanbagian dari Groete Postweg (jalan raya pos) melintas di atas rel Rancaekek-Jatinangor |
Kemudian sekitar 50 m sebelah timur kampus Ikopin sekarang, terdapat sebuah viaduct (jembatan jalan raya dan jalan kereta api) yang merupakan perpotongan jalur KA Rancaekek-Jatinangor dengan jalan raya Bandung-Sumedang. Dalam hal ini, mohon maaf saya kurang sependapat dengan kang Asep_0907 (pada http://semboyan35.com/showthread.php?tid=1017) yang menyebutkan bahwa dulunya jembatan ini tidak ada melainkan hanya berupa perlintasan kereta api biasa. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan, terlihat bekas-bekas jembatan buatan Belanda dengan ciri khasnya yang berbentuk lengkung, dan terdapat penambahan betonan buatan bangsa Indonesia saat ini. Hal ini seolah dibuktikan juga dengan foto dari Collectie Troopenmuseum yang memperlihatkan pembuatan viaduct tersebut, dengan perpotongannya yang tidak tegak lurus, melainkan serong hampir 45 derajat terhadap jalan raya.
Salah satu hal yang membuat saya takjub adalah visi orang Belanda dalam membuat bangunan. Pada saat itu mungkin yang kebanyakan melintas hanyalah bendi (kereta kuda) atau andong dan beberapa kendaraan kecil dengan beban yang tidak seberapa, tapi mereka -yang kita sebut penjajah itu- begitu visioner dan bersungguh-sungguh dalam membangun, sehingga viaduct ini masih berdiri kokoh sampai hari ini. Sekarang, viaduct ini setiap harinya dilewati berpuluh-puluh ton truk pengangkut pasir dari Sumedang dan batu bara dari pelabuhan Cirebon, sayangnya, kondisi di bawah viaduct ini telah dipenuhi oleh sampah dan semak belukar.
Salah satu hal yang membuat saya takjub adalah visi orang Belanda dalam membuat bangunan. Pada saat itu mungkin yang kebanyakan melintas hanyalah bendi (kereta kuda) atau andong dan beberapa kendaraan kecil dengan beban yang tidak seberapa, tapi mereka -yang kita sebut penjajah itu- begitu visioner dan bersungguh-sungguh dalam membangun, sehingga viaduct ini masih berdiri kokoh sampai hari ini. Sekarang, viaduct ini setiap harinya dilewati berpuluh-puluh ton truk pengangkut pasir dari Sumedang dan batu bara dari pelabuhan Cirebon, sayangnya, kondisi di bawah viaduct ini telah dipenuhi oleh sampah dan semak belukar.
Courtesy: Collectie Troopenmuseum "Spoorwegstation in Djatinangor" |
Dibawah viaduct tersebut, rel kereta api belok kanan ke arah timur –sejajar dengan jalan raya– menuju ke stasiun Djatinangor yang konon lokasinya adalah Mapolsek Cikeruh atau Mapolsek Jatinangor sekarang, karena dari situ ada jalan menuju ke kantor perkebunan karet Jatinangor milik seorang Jerman bernama Baron Baud (kampus Unwim / ITB-Jatinangor sekarang) yang sekarang dikenal dengan jalan Kiarapayung. Sekaligus self-correction terhadap tulisan saya terdahulu, di dalam situs Collectie Troopenmuseum tidak ditemukan kosakata “stasiun Tjikeroeh (Cikeruh)” melainkan spoorwegstation in Djatinangor, dengan demikian dalam tulisan ini dan tulisan berikutnya saya akan menggunakan istilah "stasiun Jatinangor". Penelusuran jalur KA Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari bagian Jatinangor-Tanjungsari akan dibahas pada postingan berikutnya.
Gorong-gorong solokan Ciseke yang mengalirkan limpahan air dari cek-dam Unpad ke solokan Ciseke sekarang |
Courtesy: Collectie Troopenmuseum Mungkin foto ini menunjukan saatpembuatan gorong-gorong Ciseke |
Peta asumsi jalur mati KA Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari via Google-Map dapat dilihat pada postingan sebelumnya (http://willylandscape.blogspot.com/2011/08/penelusuran-jalur-ka-mati-trayek.html). Everybody, all aboard...! (WL)
PS:
to kang Asep_0907, you’re still the inspiration…
to kang Asep_0907, you’re still the inspiration…
saluutt my braderr..
ReplyDeleteTengkyu ma bradah...
ReplyDeleteMangga geura klik "follow" kangggo mengetahui apdetan2 terbaru pada blog inih...
proyek sapedah didukung boss, meh tiasa enggal2 aprak2kan deui...
ReplyDeletehmmmmm....... bakal ada yg minta jajan lg nih...
ReplyDeletemammma... minta sapedah...
ReplyDeletesubhanallah..about train, jadi pengen ikut keliling..:D
ReplyDeleteYuk, pengennya sih abis lebaran nyusur jalur dr Jtnangor ke Tjsari...
ReplyDeleteSapa aja yg mo ikut, cuuung...?!
sungguh postingan yang bagus, di ulas secara mendalam dan mengena kepada topik yang dibahas, saya salut kepada blog ini, walaupun bukan asli Jatinangor tapi mengetahui sejarah perjalanan kereta api di Jatinangor atau Cikeruh, sya sbg orang asli tdk begitu mengenal dengan detil sejarah jalur kereta api di Jatinangor. tapi menurut APBD Prov Jabar dan APBD Kab.Sumedang pada tahun 2012 jalur tersebut akan direvitalisasi.
ReplyDeletekalau boleh akan saya posting contentnya di blog kami yaitu blog pemerintah Desa Cikeruh http://lembur-cikeruh.co.cc terima kasih
Terimakasih kang MR-Putra, kebetulan sudah 28thn saya tinggal di kec. Cikeruh yg sekarang mnjadi kec. Jatinangor, tapi posisinya lebih dekat ke Rancaekek.
ReplyDeleteSayang, belum sempat melanjutkan "aprak2an" untuk tulisan ke-dua keburu pergi mengembara. Insya Allah kalau pulang ke Indonesia akan dilanjutkan.
ReplyDeletesalam knal kang.. tulisanna menarik..
ReplyDeletedaerah jabar emang punya banyak tempat jalan-jalan menarik..
reswaraku.blogspot.com
Terimakasih, hatur nuhun...
ReplyDeletemas willy saya mau tanya dong itu foto yang diselokan itu kira - kira deket-deket mananya unpad ya ??
ReplyDeleteDari Gerbang Lama (arah ke Bandung) seberang Jl. Ciseke. Jalan Ciseke dan selokan Ciseke tuh sebelahan. Mudah2an masih ada.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKang Willy, hatur nuhun infonya sangat rinci dan menarik. Kalau boleh, saya mau tanya tanya lebih lanjut untuk dijadikan bahan berita di salah satu koran Bandung. Saya bisa menghubungungi via apa, kang? Minta info kontaknya ya, kang.
ReplyDeleteVia FB bisa
DeleteUlasan yang yang sangat menarik, mohon izin foto viaduct dekat ikopin saya save untuk acuan survey selanjutnya. trims
ReplyDeleteMangga
DeleteDulu kata temen saya yang orang tanjung sari di deket polsek jatinangor ada sebuah gerbong tersisa, tetapi saat ini di tempat tersebut telah di bangun rumah dan gerbongnya hilang entah kemana, sayang dia belum sempat foto gerbong tsb
ReplyDeleteblognya keren, menambah wawasan sejarah transportasi kereta jawa barat
ReplyDeleteSaya sedang menelusuri
ReplyDeleteMemalukan penyakit bangsa menjadi mental bangsa kapan kita bisa sadar untuk kesejahteraan kita juga bukan kekayaan keluarga saait ini?
ReplyDelete