Stasiun
Rancaekek
23 Oktober 2011,
12:35
Loket penjualan tiket kereta api ekonomi KRD Bandung Raya jurusan
Cicalengka-Padalarang belum juga buka, padahal terengah sudah kami setengah
berlari dari sejak turun angkot tadi, belum lagi harus meloncati kubangan air cileuncang yang berwarna mirip susu
cokelat sisa hujan lebat pagi tadi. Ransel back-pack
kugantung di dada karena di punggungku telah lebih dulu bertengger sebuah
ransel carrier, sepintas terlihat
mirip turis kacangan atau mungkin porter stasiun, lelahnya bahu ini menopang dua buah tas
besar walaupun beratnya sudah dipastikan tak lebih dari 30 kilogram.
Aku, yang tulen warga USA alias Urang
Sunda Aseli yang sejak kecil bercokol di sebelah timur kota Bandung, yang tepatnya
di sebuah daerah yang bernama Rancaekek yang… (ah terlalu banyak kata
“yang”nya, ternyata aku bukanlah penulis “yang” baik). Seperti kebanyakan orang
sunda lain, aku pun sedikit udik dan saat ini aku sedang berada dalam salah
satu rencana besar dalam hidupku, sebuah hal yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya, misi pertamaku, menunggangi sebuah kendaraan logam berbobot 229,8
ton yang bisa melesat dengan
kecepatan 871 kilometer per jam dan kau tau, hebatnya lagi, dia bisa terbang
sodara-sodara…! Sedangkan aku pun yang hanya memiliki berat 74 kilogram tidak bisa
loncat lebih dari 150 sentimeter saja.
Woooo…. Gitu aja heboh… Biarin, kan aku udah bilang kalo aku udik. Dari dulu, setiap kubuka akun Facebook-ku lewat ponsel
jadulku, aku selalu terkesima melihat status
teman-temanku, yang dengan Blackberry-nya
mereka bisa menunjukkan posisi mereka. Beberapa contoh status teman-temanku: “@ Soetta, Medan I’m coming”, atau “@ Hussein
Sastranegara OTW Bali semoga tidak delay”
atau “Schippol Int’l Airport, OTW home”,
atau “@ Ngurahrai Int’l Airport, Alhamdulillah landed safely…”. Bahkan bagi salah satu temanku,
Jakarta-Jogja-Jakarta PP bisa ditempuhnya dalam sehari untuk demi menyelesaikan
studinya, bagiku itu sungguh luar biasa. Bagaimana rasanya menjadi seperti
mereka, melayang tinggi di udara di atas tumpukan awan yang menggumpal seperti
kapas, melambaikan tangan pada sepasukan burung yang bermigrasi, menatap
matahari yang seolah tidak pernah tenggelam dan menikmati senyum ramah para
gadis pemandu jelajah.
Bukan salah bundanya Mark Zuckerberg mengandung anak suaminya dan juga
bukan salah Zuckerberg mencipta sang Buku-Wajah serta pastinya bukanlah
salah sang pembuat status jika mereka
mengatakan apa yang sedang mereka rasakan, karena mereka hanya menjawab pertanyaan mas
Zuckerberg, “what’s on your mind?” Jadi, lima ratus juta orang di dunia hanya mengatakan apa yang ada di pikiran mereka. Kita
tidak bisa secara prematur menuduh mereka riya' atau pamer, karena membuat status -selama tidak bertentangan dengan norma-norma-
adalah hak semua individu, maka dari itu buruk sangka harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Begitu juga aku, aku
hanya berfikir jika aku bisa seperti mereka mungkin aku pun akan menuliskan hal
yang sama di wall-ku.
Aku, isteriku dan bibiku mencari apakah masih ada satu atau dua tempat
duduk kosong di ruang tunggu peron, diantara para penunggu sang penanda waktu
yang akhir-akhir ini sering tak tepat waktu. Seperti orang Sunda lainnya, yang
selalu ingin mengantar jika akan bepergian jauh, kerabatku pun sebenarnya ingin
turut mengantar, tapi kubilang “sudahlah, jangan merepotkan” cukuplah bibi dan
istriku tercinta, karena aku bukanlah calon jemaah haji yang selalu diantar
orang sekampung sampai ke Pondok Gede. Ransel dan carrier ku turunkan dari gendongan, berdampingan dengan satu
keresek besar berisi cadangan makanan awetan seperti abon, dendeng dan keripik
paru cukup sebagai bekal makanku sebulan pertama di tanah rantau, oh betapa
Sunda-nya aku.
Peron karcis belum juga buka.
Tak terbayangkan sebelumnya, si Kabayan, petani dari kampung ini akan
memiliki salah-satu kesempatan kecil untuk meninggalkan salah satu jejak
kakinya di negeri yang asing. Tigapuluh tahun lebih umurku kini, tak sekalipun
aku keluar pulau -selain darmawisata saat sekolah dulu-. Begitu kaya dan
luasnya negeri ini pun belum pernah sekalipun kujelajahi semuanya. Hanya
kampung tempatku dibesarkan sajalah yang ku tau, hanya kotaku
yang aku tau. Hanya si cantik Priangan yang ku kenal, lekuk tubuhnya hampir
puas kujamah seluruhnya, kemolekan wajahnya tak tergantikan dalam semua
mimpiku, hatinya yang penuh santun namun kadang bisa beringas pun telah memikatku.
Bahkan meneer Brouwer pernah bilang bahwa Priangan tercipta ketika Tuhan tersenyum. Wahai cantik, betapa segala tentangmu begitu memenuhi isi kepalaku, betapa
bangganya negeri ini memilikimu.
Setahun yang lalu saat ayahku masih hidup, beliau mengajak kami
anak-anaknya berkeliling hampir setengah
bagian ranah Priangan. Menyusuri hamparan kebun teh yang berselimut kabut
tebal, menjelajahi rimba, melenggok di jalan sempit di antara pohon-pohon besar
hingga sinar mataharipun begitu kesulitan menembus himpitan daun di tajuk
pepohonan, mengagumi deburan ombak laut selatan yang menggelegar mendebarkan
hati para penikmat alam. Hingga saat ayah kami tiada, seolah beliau ingin
meninggalkan kesan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh kami anak-anaknya.
Ibuku telah empat tahun yang lalu berpulang menghadap sang Maha Daya.
Belum satupun amanahnya kuselesaikan, oh betapa durhakanya aku. Kini ayah pun
pergi menyusulnya. Lengkap sudah kehampaanku. Tinggal aku dan keluarga kecilku
yang tertatih seperti anak burung yang sedang belajar terbang, berusaha
mengepakan sayap kecilnya agar bisa keluar dari sarang untuk mencari seekor
cacing untuk makan malam. Anakku tertidur lelap dengan mobil-mobilan
kesukaannya bertengger di sebelah bantal, keinginannya adalah obsesi bagiku. Istrikupun lelah menggerutui
suaminya yang belum juga bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Kadang aku bertanya sendiri, kenapa nasib isteriku tak
seberuntung mantan-mantan pacarku yang saat ini telah hidup bahagia bersama
suami mereka. Aku hanya berharap bahwa rencana kecilku ini bisa sedikit
mengobati kerinduannya akan hidup yang lebih baik.
Ya, aku berencana untuk menjalani kifayah
sebagai kuli di negeri orang, tak apalah, negeri kayaku ini telah kadung
dikenal sebagai penjaja keringat di negeri orang, mereka yang duduk di atas
sana menyebut kami Tenaga Kerja Indonesia yang biasa dikenal dengan istilah
TKI. Bahkan sebagai pemanis lidah mereka menyanjung orang-orang seperti kami
sebagai pahlawan devisa. Ah, itu hanya busa mulutmu saja untuk menutupi
kebobrokan kalian yang telah membuat anak ayam mati di lumbung padi. Kita semua
tahu, dalam pelajaran di sekolah dasar, negeri ini selalu dielu-elukan sebagai negara
yang kaya akan berbagai sumberdaya alam, ekspor migas, tambang, swasembada
pangan, angka kemiskinan berkurang, taraf hidup masyarakat meningkat, ternyata
semua hanya utopia.
Sebulan lalu seorang TKI wanita terpaksa harus dipenggal di negeri tandus
karena kelemahan diplomasi negeri ini, macan Asia yang pernah digelorakan sang
proklamator kini hanyalah kucing ompong yang tak berdaya di mata dunia. Hal ini
sempat membuat khawatir keluargaku begitu tahu bahwa aku akan mengembara di
jazirah itu, walaupun tujuanku adalah negara tetangga sang negeri algojo itu.
Tujuanku adalah semenanjung kecil di jazirah Arabia, negara di teluk Persia dengan luas
tak seberapa tapi terkenal kaya karena sumber minyak dan gas buminya. Teringat akan salah satu judul dari
komik petualangan kesayangan sejak aku kecil hingga saat ini, Tintin, maka aku menyebut
negeri labuhan anganku ini sebagai negeri emas hitam.
Loket dibuka, calon penumpang menyerbu, uang seribu rupiah tiga lembar
segera kusiapkan, cukup untuk kutukar dengan tiga lembar tiket KRD tujuan
Stasiun Bandung untuk aku, isteri dan bibiku. Ransel carrier kembali naik di punggung dan ransel back-pack kembali bertengger di dada, kresek berisi makanan aku
tenteng. Dengan menunjukkan tiga lembar tiket, kedua orang terkasihku pun
bergegas mengikutiku meninggalkan peron menuju ke pinggir rel kereta.
Aku ingat orang-orang yang begitu aku kasihi, ayah dan ibuku yang telah
tiada, saudara-saudaraku dan sahabat-sahabat yang selalu mendampingiku dalam
suka dan beberapa diantaranya dalam duka. Betapa bersyukurnya aku bisa hidup di
antara mereka, sahabat-sahabat yang mengasihiku, mereka membimbingku agar tetap
berada di jalan yang benar, walaupun sesekali kami nakal. Kadang mereka terasa
lebih saudara dari saudaraku sendiri, kami tertawa, menangis, memandangi bulan,
berkontemplasi, walau kadang berseberangan paham, berselisih pemikiran, tak acuh untuk sementara waktu dan bumbu-bumbu penyedap lainnya yang menambah
kenikmatan sebuah hidangan persahabatan. Beberapa diantaranya belum sempat
kutemui karena aku terlalu sibuk mengurus segala kelengkapan mengenai
keberangkatanku, tapi tak apalah, dihatiku kita tidak berpisah, hanya berbeda
tempat saja, walaupun
berbeda zona waktu juga.
Tak berapa lama keretaku datang juga. Tiga atau empat
gerbong usang yang ditarik lokomotif diesel tipe CC telah dipenuhi penumpang
dari stasiun sebelumnya. Kereta semakin lambat sampai akhirnya berhenti,
berebutanlah para calon penumpang di pintu gerbong, tua, muda, kanak-kanak,
seolah bersahutan dengan suara para pedagang yang sudah berada di dalam kereta.
Dengan mengerahkan segenap tenaga akhirnya berhasil juga aku naik ke dalam gerbong,
segera kuulurkan tangan untuk membantu istriku dan bibiku.
Beribu aroma segera
menyusup ke dalam hidungku, mulai dari wangi parfum murahan, bau bekas hewan
ternak hingga keringat dari orang-orang yang mungkin sejak subuh tadi sudah
mondar-mandir tanpa kenal lelah di gerbong ini. Segera kucarikan tempat duduk
buat bibiku, pengganti sang bunda sejak beliau tiada, biarlah aku dan isteriku
berdiri saja. Serasa di film India, setiap adegan pergi ke luar negeri selalu
diawali dengan menumpang kereta api ekonomi yang penuh sesak, bedanya, disini
gadis yang seharusnya melempar selendang malah berada di sebelahku dengan
sebelah tangannya terangkat memegang handle dan mata coklatnya bulat menatapku
sembari tersenyum.
“jeruk… jeruk… jeruk…
manis jeruuuk…”, “buah (mangga)… buah… buah… amis kareu’eut buaaah…”, “pel… apel… apel… apel…”, “batu jam,
gunting kuku, remot tipi, batre, senter…”, “donat… donat… oleh-oleh… oleh-oleh…
donat…”, “sate… sate… sate… kulit sateee…” dan beberapa pengamen mulai dari
kelompok band akustik, rombongan calung, keyboard tunggal, penyanyi kareoke
hingga kecrekan, mulai dari yang segar bugar, tuna netra hingga yang tuna daksa,
dari yang tua sampai kanak-kanak serta beberapa pengemis renta. Subhanallah, betapa hebatnya semangat orang-orang
di negeri surgawi ini, mereka memilih hidup mandiri walaupun konstitusi negeri
ini jelas-jelas menyebutkan bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh negara. Atau mungkin negara memelihara mereka untuk tetap miskin,
sedangkan yang di atas sana semakin menumpuk kekayaannya yang wallahu’alam di dapat dari mana.
Aku mendongakkan kepala
ke atas, menatap lelangit gerbong kereta berusaha menahan dorongan air yang
mulai membasahi mataku. Bibirku bergetar, mataku memerah. Tuhan seperti sedang menampar keras sekali di wajahku, seolah Dia
berkata, “kamu liat itu, saudara-saudaramu...?! Akankah kamu lupakan
mereka setelah kamu tiba di negeri terkaya di
dunia itu...?!” Aku masih tertegun menatap lelangit gerbong, tanpa sanggup berkata, bahkan
menundukkan kepala pun aku tak bisa. Aku tak malu jika orang
segerbong melihatku menitikkan air mata, tapi aku begitu malu karena belum mampu berbuat apapun untuk saudara-saudaraku. “Ampuni aku Tuhan” gumamku.
Tuhan seolah ingin
menunjukkan sesuatu padaku sebelum aku pergi ke negeri petrodollar -yang konon menurut IMF tiap kepalanya bisa menghasilkan US$ 88.222 per tahun- agar tidak melupakan negeri gemah ripah yang menurut mereka pendapatannya hanya berada
peringkat ke 122 dunia. Itulah negeriku yang sesungguhnya, Indonesia. Tempat
aku lahir dan dibesarkan. Tempat dimana orang-orang tercinta akan tersenyum
menyambutku pulang. Tempat di mana aku ingin beristirahat nanti bersama ayah
dan ibuku. Tempat dimana masih banyak saudara-saudaraku menggantungkan hidupnya
di gerbong ini bersama apel, jeruk, mangga, donat, gunting kuku, remot tipi,
batre jam dan nada-nada sumbang mereka.
Tiga puluh menit lebih
sedikit kami tiba di Stasiun Hall Bandung, pesan karcis dan kembali menunggu
untuk berganti kereta dengan kereta yang dulu begitu legendaris di jalur laris
dengan pemandangan yang begitu romantis namun sayang kini masanya telah habis.
Dialah Argo-Parahyangan yang terengah di sisa nafas tuanya.
Wahai burung besi,
tunggu aku di sana.
Ilustrasi: Andreva's Photography