Sunday, September 16, 2012

Desert Diary

It's all about... the story of our journey in a tiny little country at the eastern part of Arabian peninsula that they called the heart of the Arabian gulf. This is the story of our little band of brothers, and this is our Desert Diary...


Thursday, May 31, 2012

Gambar Di Pasir

Waktu itu, angin masih berhembus dari barat, matahari duduk di selatan. Batang-batang jagung merunduk mengejarnya. Kicau burung tak terdengar, mereka bermigrasi ke tempat yang lebih hangat. Pelepah-pelepah kurma menari disapa angin. Butir-butir pasir berdesis di udara menghalangi sinar matahari. Waktu pagi masih begitu dingin aku terbangun sendiri, kau telah pergi.

Aku yang setengah tak percaya berlari keluar mencarimu sampai tiba-tiba badai pasir menampar wajahku, aku jatuh tersungkur. Samar-samar kulihat bayangan berjalan pergi diantara debu-debu yang beterbangan, pelan- pelan semakin jauh. Aku berteriak semampuku memanggil bayangan itu tapi dia tak mendengar, mungkin angin berhembus terlalu kencang. Sampai pelan-pelan dia hilang di tengah badai.


Kini, angin berhembus dari timur, matahari berdiri di utara. Batang-batang jagung yang telah lama mengering berserakan di ladang. Butiran pasir bertapa, matahari sombong menantang. Burung-burung sudah kembali, kicaunya hangatkan pagi. Pohon-pohon kurma ranum berbuah, tandannya merunduk disesaki butiran-butiran berwarna hijau. Pada pasir yang diam, pada mentari yang angkuh, pada burung yang gembira aku bertanya dimana dirimu kini, mereka Cuma tertawa.

Waktu pagi mulai gerah, ku lukis wajahmu di pasir. Angin datang menghampiriku lalu tersenyum padaku, pelan-pelan sebelah tangannya merangkul pundakku, tangan lainnya lembut menyeka gambarmu hingga menjadi gumpalan debu. Duhai kau yang pergi, kaulah hujan di padang pasir, singgah sejenak menyejukkan hati lalu pergi entah kapan kembali. Wahai air, datanglah sekali lagi sekedar untuk mendinginkan tanah agar tak terlalu panas saat dipijak. Wahai hujan, singgahlah sekali lagi sekedar untuk basahi lidah seorang musafir yang berteduh di bawah pohon akasia yang hampir kering di tepi gurun.


(WL) DOH-Qa, Summer 2012



ilustrasi: sophie jacobson

Tuesday, May 29, 2012

Suatu hari di atas KRD

Stasiun Rancaekek
23 Oktober 2011, 12:35

Loket penjualan tiket kereta api ekonomi KRD Bandung Raya jurusan Cicalengka-Padalarang belum juga buka, padahal terengah sudah kami setengah berlari dari sejak turun angkot tadi, belum lagi harus meloncati kubangan air cileuncang yang berwarna mirip susu cokelat sisa hujan lebat pagi tadi. Ransel back-pack kugantung di dada karena di punggungku telah lebih dulu bertengger sebuah ransel carrier, sepintas terlihat mirip turis kacangan atau mungkin porter stasiun, lelahnya bahu ini menopang dua buah tas besar walaupun beratnya sudah dipastikan tak lebih dari 30 kilogram.

Aku, yang tulen warga USA alias Urang Sunda Aseli yang sejak kecil bercokol di sebelah timur kota Bandung, yang tepatnya di sebuah daerah yang bernama Rancaekek yang… (ah terlalu banyak kata “yang”nya, ternyata aku bukanlah penulis “yang” baik). Seperti kebanyakan orang sunda lain, aku pun sedikit udik dan saat ini aku sedang berada dalam salah satu rencana besar dalam hidupku, sebuah hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, misi pertamaku, menunggangi sebuah kendaraan logam berbobot 229,8 ton yang bisa melesat dengan kecepatan 871 kilometer per jam dan kau tau, hebatnya lagi, dia bisa terbang sodara-sodara…! Sedangkan aku pun yang hanya memiliki berat 74 kilogram tidak bisa loncat lebih dari 150 sentimeter saja.
Woooo…. Gitu aja heboh… Biarin, kan aku udah bilang kalo aku udik. Dari dulu, setiap kubuka akun Facebook-ku lewat ponsel jadulku, aku selalu terkesima melihat status teman-temanku, yang dengan Blackberry-nya mereka bisa menunjukkan posisi mereka. Beberapa contoh status teman-temanku: “@ Soetta, Medan I’m coming”, atau “@ Hussein Sastranegara OTW Bali semoga tidak delay” atau “Schippol Int’l Airport, OTW home”, atau “@ Ngurahrai Int’l Airport, Alhamdulillah landed safely…”. Bahkan bagi salah satu temanku, Jakarta-Jogja-Jakarta PP bisa ditempuhnya dalam sehari untuk demi menyelesaikan studinya, bagiku itu sungguh luar biasa. Bagaimana rasanya menjadi seperti mereka, melayang tinggi di udara di atas tumpukan awan yang menggumpal seperti kapas, melambaikan tangan pada sepasukan burung yang bermigrasi, menatap matahari yang seolah tidak pernah tenggelam dan menikmati senyum ramah para gadis pemandu jelajah.

Bukan salah bundanya Mark Zuckerberg mengandung anak suaminya dan juga bukan salah Zuckerberg mencipta sang Buku-Wajah serta pastinya bukanlah salah sang pembuat status jika mereka mengatakan apa yang sedang mereka rasakan, karena mereka hanya menjawab pertanyaan mas Zuckerberg, “what’s on your mind?” Jadi, lima ratus juta orang di dunia hanya mengatakan apa yang ada di pikiran mereka. Kita tidak bisa secara prematur menuduh mereka riya' atau pamer, karena membuat status -selama tidak bertentangan dengan norma-norma- adalah hak semua individu, maka dari itu buruk sangka harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Begitu juga aku, aku hanya berfikir jika aku bisa seperti mereka mungkin aku pun akan menuliskan hal yang sama di wall-ku.

Aku, isteriku dan bibiku mencari apakah masih ada satu atau dua tempat duduk kosong di ruang tunggu peron, diantara para penunggu sang penanda waktu yang akhir-akhir ini sering tak tepat waktu. Seperti orang Sunda lainnya, yang selalu ingin mengantar jika akan bepergian jauh, kerabatku pun sebenarnya ingin turut mengantar, tapi kubilang “sudahlah, jangan merepotkan” cukuplah bibi dan istriku tercinta, karena aku bukanlah calon jemaah haji yang selalu diantar orang sekampung sampai ke Pondok Gede. Ransel dan carrier ku turunkan dari gendongan, berdampingan dengan satu keresek besar berisi cadangan makanan awetan seperti abon, dendeng dan keripik paru cukup sebagai bekal makanku sebulan pertama di tanah rantau, oh betapa Sunda-nya aku.

Peron karcis belum juga buka.
Tak terbayangkan sebelumnya, si Kabayan, petani dari kampung ini akan memiliki salah-satu kesempatan kecil untuk meninggalkan salah satu jejak kakinya di negeri yang asing. Tigapuluh tahun lebih umurku kini, tak sekalipun aku keluar pulau -selain darmawisata saat sekolah dulu-. Begitu kaya dan luasnya negeri ini pun belum pernah sekalipun kujelajahi semuanya. Hanya kampung tempatku dibesarkan sajalah yang ku tau, hanya kotaku yang aku tau. Hanya si cantik Priangan yang ku kenal, lekuk tubuhnya hampir puas kujamah seluruhnya, kemolekan wajahnya tak tergantikan dalam semua mimpiku, hatinya yang penuh santun namun kadang bisa beringas pun telah memikatku. Bahkan meneer Brouwer pernah bilang bahwa Priangan tercipta ketika Tuhan tersenyum. Wahai cantik, betapa segala tentangmu begitu memenuhi isi kepalaku, betapa bangganya negeri ini memilikimu.
Setahun yang lalu saat ayahku masih hidup, beliau mengajak kami anak-anaknya berkeliling  hampir setengah bagian ranah Priangan. Menyusuri hamparan kebun teh yang berselimut kabut tebal, menjelajahi rimba, melenggok di jalan sempit di antara pohon-pohon besar hingga sinar mataharipun begitu kesulitan menembus himpitan daun di tajuk pepohonan, mengagumi deburan ombak laut selatan yang menggelegar mendebarkan hati para penikmat alam. Hingga saat ayah kami tiada, seolah beliau ingin meninggalkan kesan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh kami anak-anaknya.
Ibuku telah empat tahun yang lalu berpulang menghadap sang Maha Daya. Belum satupun amanahnya kuselesaikan, oh betapa durhakanya aku. Kini ayah pun pergi menyusulnya. Lengkap sudah kehampaanku. Tinggal aku dan keluarga kecilku yang tertatih seperti anak burung yang sedang belajar terbang, berusaha mengepakan sayap kecilnya agar bisa keluar dari sarang untuk mencari seekor cacing untuk makan malam. Anakku tertidur lelap dengan mobil-mobilan kesukaannya bertengger di sebelah bantal, keinginannya adalah obsesi bagiku. Istrikupun lelah menggerutui suaminya yang belum juga bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Kadang aku bertanya sendiri, kenapa nasib isteriku tak seberuntung mantan-mantan pacarku yang saat ini telah hidup bahagia bersama suami mereka. Aku hanya berharap bahwa rencana kecilku ini bisa sedikit mengobati kerinduannya akan hidup yang lebih baik.
Ya, aku berencana untuk menjalani kifayah sebagai kuli di negeri orang, tak apalah, negeri kayaku ini telah kadung dikenal sebagai penjaja keringat di negeri orang, mereka yang duduk di atas sana menyebut kami Tenaga Kerja Indonesia yang biasa dikenal dengan istilah TKI. Bahkan sebagai pemanis lidah mereka menyanjung orang-orang seperti kami sebagai pahlawan devisa. Ah, itu hanya busa mulutmu saja untuk menutupi kebobrokan kalian yang telah membuat anak ayam mati di lumbung padi. Kita semua tahu, dalam pelajaran di sekolah dasar, negeri ini selalu dielu-elukan sebagai negara yang kaya akan berbagai sumberdaya alam, ekspor migas, tambang, swasembada pangan, angka kemiskinan berkurang, taraf hidup masyarakat meningkat, ternyata semua hanya utopia.
Sebulan lalu seorang TKI wanita terpaksa harus dipenggal di negeri tandus karena kelemahan diplomasi negeri ini, macan Asia yang pernah digelorakan sang proklamator kini hanyalah kucing ompong yang tak berdaya di mata dunia. Hal ini sempat membuat khawatir keluargaku begitu tahu bahwa aku akan mengembara di jazirah itu, walaupun tujuanku adalah negara tetangga sang negeri algojo itu. Tujuanku adalah semenanjung kecil di jazirah Arabia, negara di teluk Persia dengan luas tak seberapa tapi terkenal kaya karena sumber minyak dan gas buminya. Teringat akan salah satu judul dari komik petualangan kesayangan sejak aku kecil hingga saat ini, Tintin, maka aku menyebut negeri labuhan anganku ini sebagai negeri emas hitam.

Loket dibuka, calon penumpang menyerbu, uang seribu rupiah tiga lembar segera kusiapkan, cukup untuk kutukar dengan tiga lembar tiket KRD tujuan Stasiun Bandung untuk aku, isteri dan bibiku. Ransel carrier kembali naik di punggung dan ransel back-pack kembali bertengger di dada, kresek berisi makanan aku tenteng. Dengan menunjukkan tiga lembar tiket, kedua orang terkasihku pun bergegas mengikutiku meninggalkan peron menuju ke pinggir rel kereta.

Aku ingat orang-orang yang begitu aku kasihi, ayah dan ibuku yang telah tiada, saudara-saudaraku dan sahabat-sahabat yang selalu mendampingiku dalam suka dan beberapa diantaranya dalam duka. Betapa bersyukurnya aku bisa hidup di antara mereka, sahabat-sahabat yang mengasihiku, mereka membimbingku agar tetap berada di jalan yang benar, walaupun sesekali kami nakal. Kadang mereka terasa lebih saudara dari saudaraku sendiri, kami tertawa, menangis, memandangi bulan, berkontemplasi, walau kadang berseberangan paham, berselisih pemikiran, tak acuh untuk sementara waktu dan bumbu-bumbu penyedap lainnya yang menambah kenikmatan sebuah hidangan persahabatan. Beberapa diantaranya belum sempat kutemui karena aku terlalu sibuk mengurus segala kelengkapan mengenai keberangkatanku, tapi tak apalah, dihatiku kita tidak berpisah, hanya berbeda tempat saja, walaupun berbeda zona waktu juga.

Tak berapa lama keretaku datang juga. Tiga atau empat gerbong usang yang ditarik lokomotif diesel tipe CC telah dipenuhi penumpang dari stasiun sebelumnya. Kereta semakin lambat sampai akhirnya berhenti, berebutanlah para calon penumpang di pintu gerbong, tua, muda, kanak-kanak, seolah bersahutan dengan suara para pedagang yang sudah berada di dalam kereta. Dengan mengerahkan segenap tenaga akhirnya berhasil juga aku naik ke dalam gerbong, segera kuulurkan tangan untuk membantu istriku dan bibiku.
Beribu aroma segera menyusup ke dalam hidungku, mulai dari wangi parfum murahan, bau bekas hewan ternak hingga keringat dari orang-orang yang mungkin sejak subuh tadi sudah mondar-mandir tanpa kenal lelah di gerbong ini. Segera kucarikan tempat duduk buat bibiku, pengganti sang bunda sejak beliau tiada, biarlah aku dan isteriku berdiri saja. Serasa di film India, setiap adegan pergi ke luar negeri selalu diawali dengan menumpang kereta api ekonomi yang penuh sesak, bedanya, disini gadis yang seharusnya melempar selendang malah berada di sebelahku dengan sebelah tangannya terangkat memegang handle dan mata coklatnya bulat menatapku sembari tersenyum.
“jeruk… jeruk… jeruk… manis jeruuuk…”, “buah (mangga)… buah… buah… amis kareu’eut buaaah…”, “pel… apel… apel… apel…”, “batu jam, gunting kuku, remot tipi, batre, senter…”, “donat… donat… oleh-oleh… oleh-oleh… donat…”, “sate… sate… sate… kulit sateee…” dan beberapa pengamen mulai dari kelompok band akustik, rombongan calung, keyboard tunggal, penyanyi kareoke hingga kecrekan, mulai dari yang segar bugar, tuna netra hingga yang tuna daksa, dari yang tua sampai kanak-kanak serta beberapa pengemis renta. Subhanallah, betapa hebatnya semangat orang-orang di negeri surgawi ini, mereka memilih hidup mandiri walaupun konstitusi negeri ini jelas-jelas menyebutkan bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Atau mungkin negara memelihara mereka untuk tetap miskin, sedangkan yang di atas sana semakin menumpuk kekayaannya yang wallahu’alam di dapat dari mana.
Aku mendongakkan kepala ke atas, menatap lelangit gerbong kereta berusaha menahan dorongan air yang mulai membasahi mataku. Bibirku bergetar, mataku memerah. Tuhan seperti sedang menampar keras sekali di wajahku, seolah Dia berkata, “kamu liat itu, saudara-saudaramu...?! Akankah kamu lupakan mereka setelah kamu tiba di negeri terkaya di dunia itu...?!” Aku masih tertegun menatap lelangit gerbong, tanpa sanggup berkata, bahkan menundukkan kepala pun aku tak bisa. Aku tak malu jika orang segerbong melihatku menitikkan air mata, tapi aku begitu malu karena belum mampu berbuat apapun untuk saudara-saudaraku. “Ampuni aku Tuhan” gumamku.
Tuhan seolah ingin menunjukkan sesuatu padaku sebelum aku pergi ke negeri petrodollar -yang konon menurut IMF tiap kepalanya bisa menghasilkan US$ 88.222 per tahun- agar tidak melupakan negeri gemah ripah yang menurut mereka pendapatannya hanya berada peringkat ke 122 dunia. Itulah negeriku yang sesungguhnya, Indonesia. Tempat aku lahir dan dibesarkan. Tempat dimana orang-orang tercinta akan tersenyum menyambutku pulang. Tempat di mana aku ingin beristirahat nanti bersama ayah dan ibuku. Tempat dimana masih banyak saudara-saudaraku menggantungkan hidupnya di gerbong ini bersama apel, jeruk, mangga, donat, gunting kuku, remot tipi, batre jam dan nada-nada sumbang mereka.

Tiga puluh menit lebih sedikit kami tiba di Stasiun Hall Bandung, pesan karcis dan kembali menunggu untuk berganti kereta dengan kereta yang dulu begitu legendaris di jalur laris dengan pemandangan yang begitu romantis namun sayang kini masanya telah habis. Dialah Argo-Parahyangan yang terengah di sisa nafas tuanya.
Wahai burung besi, tunggu aku di sana.


Ilustrasi: Andreva's Photography

Wednesday, March 14, 2012

Kaulah sepiku…

Aku duduk di bangku dekat pantai Chorniche, menikmati lekukan bibir pantai yang hampir setengah lingkaran sambil memandangi beberapa gadis berbalut jubah hitam bercanda dan tertawa, aku pun tersenyum dan membagi banyak cerita kepadamu yang duduk di sebelahku, sahabatku. Tentang hidup, tentang gelora asa, tentang bahagia, tentang obsesi bahkan tentang cinta. Di sudut lain, beberapa pria tampak terpaku memegang joran, sebagian lain melempar kail. Tak kalah dengan gadis-gadis itu, kita pun tertawa, kadang terbahak kadang cuma tersenyum lalu kita diam sejenak. Lalu kamu menimpal dan suasana pun kembali hangat, kau masih ingat betapa ku begitu berusaha untuk bisa sampai di sini, kau ungkapkan lagi cerita-cerita mengharukan waktu dua kali permohonan pembuatan passport-ku di tolak bahkan lima belas menit sebelum take-off pun aku masih berurusan dengan semrawutnya birokrasi di negeri kita. Kau ceritakan lagi semua itu dengan gayamu yang lucu sehingga membuatku terpingkal mengingatnya.

Musik gambus menghentak dari sound-system perahu kayu yang tertambat di bibir pantai. Beberapa remaja berwajah melayu melintas di pedestrian Chorniche dengan keripik dan soft-drink di tangan mereka. Aku berdiri dan berjalan ke bibir pantai, kau pun mengikuti. Lalu aku ceritakan padamu tentang lucunya tingkah anakku, kecantikan istriku, gubuk kecil kami sampai-sampai serunya obrolan kita pun merambah hingga ke nakalnya masa mudaku, kau pun menimpalinya dengan seru. Kau bubuhi cerita-cerita seputar kekonyolanku saat ku menggoda gadis-gadis di kampusku, dan kau menceritakan dengan detil bagaimana mereka menolak cintaku. Kau bilang “untung saja mereka menolak cintamu, kalau nggak mereka bakal menderita seperti istrimu sekarang, hahaha…” kau berkelakar, dan aku cuma menjawab “ah, dasar lu…!”. Lalu kita berdua kembali terbahak mengingat semua itu hingga beberapa dari remaja berwajah melayu itu pun menengok ke arah kita. Waktu langit mulai jingga, tawa kita pun pecah di antara deretan gedung pencakar langit kota Doha.


Seorang gadis bule dengan ear-phone nyangkut di kuping berlari kecil di jogging-track yang meliuk-liuk, bagian depan tank-topnya mulai dibasahi keringat. Aku lesu tertunduk di bangku stainless-steel di tengah hijaunya hamparan rumput Aspire-Park, sesekali aku menengok ke arah jembatan waktu terowongan air mancur di danau Aspire mulai menyembur. Kamu datang menghampiriku membawa satu cup Brazilian dark-roast dan menyapaku “yoo… whazzup bro…?” Aku menjawab sapaanmu dengan seribu keluhan tentang jemunya hari-hari yang ku jalani, tentang keberadaanku yang seolah tiada, tentang bayanganku yang mulai tak nampak di cermin, tentang suara yang tak bisa keluar dari mulutku, kau terdiam, berusaha menyimak setiap kata yang aku ucapkan. Sesekali kamu mengangguk mengiyakan, seolah mengerti perasaanku kamu bilang “sudahlah, nikmati saja sore ini…”

Beberapa keluarga tampak asik menggelar berpiknik, anak-anak kecil berlarian, beberapa diantaranya bermain sepeda. Bayi-bayi terlelap dalam kereta dibuai sepoi angin sore. Beberapa wanita memakai saree, sebagian bercadar, beberapa di antaranya berjilbab kasual, semua tampak ceria di mataku. Beberapa pasang kulit putih bermandi keringat karena berlari kecil berkeliling taman.

Aku, aku berdua denganmu, sahabatku. Memang, kamu memang sahabatku yang paling mengerti aku, tak sedikitpun kupungkiri itu. Saat ini aku ingin sekali memotong dan berkata “tapi…!” sayang kau keburu melanjutkan kata-katamu, sembari menepuk bahuku “yalla! habiskan kopimu, sebentar lagi pun hari ini akan berganti esok…” Burung hoopoe dan bulbul berloncatan memungut biji-biji rumput yang mulai ramai berbunga. Dari sudut mata terlihat silhouette bottle-tree menghitam di hamparan rumput yang mulai berubah jingga keemasan diterpa mentari sore. “tempatku… bukan disini…” gumamku melanjutkan kata-kata yang belum sempat terucapkan sambil beranjak dari bangku besi itu.


Selepas Gharrafa interchange aku berlari ke utara, melesat di Shamal highway melewati batas kecepatan sampai terdengar bunyi “tuut…tuut…tuut…” dari dalam kabinku, aku tak peduli. Seraknya Eddie Vadder hampir tertutup deru mesin dan jendela yang sedikit kubuka untuk membuang asap rokok dari kabin. Kau duduk di sebelahku, tangan kananmu memegang handle di atas pintu dan tangan kirimu meremas jok, sambil tertawa kamu meledekku untuk terus menambah kecepatan, lagi rokokmu kau bakar, aku pun sama. Jari tengah kau acungkan ke arah maniak edan yang berusaha memotong jalur kita, aku tertawa, sampai di jembatan ke-tiga aku berbelok ke kanan sampai habis jalanan, pedal masih kuinjak sampai membuat pusaran debu di belakangku. Membelah gurun Lusail kita berlari waktu matahari tepat di ubun-ubun di atas panasnya tanah padas yang keras.

Di tengah sahara dekat pesisir Shimaisma kita berhenti, debu akibat ulahku berhamburan seketika. Tak ada Prosopsis, Acacia atau Zizyphus untuk berteduh, mata sang hari nanar menatap kita. Pintu kubuka, sambil terus tertawa dengan langkah gontai aku berjalan ke luar menembus pekatnya butiran pasir yang masih melayang di udara, kau pun turut ke luar, sambil saling menggandeng pundak kita berteriak-teriak seperti orang mabuk. Bagai seorang gila aku menceracau, dan kau ikut memaki, aku menyumpah serapah kau pun turut mengutuk. Waktu aku memaki diriku yang tak pernah bisa menjadi sesuatu kau tertawa, waktu kamu meneriaki polosnya aku yang dengan mudah bisa mereka manfaatkan aku terbahak. Keras-keras kita memaki orang-orang bodoh yang selalu ingin terlihat pintar. Lalu kau naik ke atas kap mesin membuka kausmu sampai bertelanjang dada dan berteriak seperti komandan lapangan waktu ospek, “bedebaaah kalian semuaaaa…!!!” makimu sembari rokok masih terapit di jari. Aku Cuma bisa terpingkal melihat tingkahmu yang rock-n-roll itu. Kau loncat sekerasnya ke arahku hingga terhempas tubuh kita jatuh telentang di atas kerikil padas yang menyilaukan itu, kita mengepalkan tangan ke atas menantang matahari. Umpatan demi umpatan kita lepaskan terkadang tak terasa liur pun ikut memuntah ke udara.


“Cheers…!” dua botol Barbican beradu di atas deretan lime-stone yang bersusun rapi memecah riak kecil di dermaga Wakra. Deretan perahu nelayan dan yacht milik orang-orang kaya itu berbaris rapi melepas mentari yang mulai tak nampak. Di sini bukan tempat yang indah untuk melihat sunset karena kita masih berada di sisi timur negeri ini, tapi lumayan lah untuk sejenak melepaskan beban. Dari kejauhan terlihat bangunan-bangunan tradisional beratap kotak dengan kaso kayu dolken yang menjulur acak serta bertembok tanah liat seperti sengaja dilestarikan sebagai pengingat bahwa negeri ini pernah mashur sebagai penghasil mutiara. Para penyelam tradisional itu kini telah renta dan cuma menjadi nostalgi yang terpampang di toko-toko suvenir di Souq Waqif. Dan generasi kawat gigi masa kini lebih suka menjadi raja jalanan di atas Land Cruiser bapaknya. Kemilau emas hitam telah mengalahkan beningnya mutiara laut.

Kita masih duduk-duduk di atas barisan bebatuan dermaga yang tersusun rapi memandangi para pemancing yang satu persatu beranjak pulang. Sebentar lagi maghrib. Masih berbagi cerita, saling melepas keluh dan sama-sama memanjakan emosi. Sisa sepertiga punyaku, dan kulihat kau mengangkat botolmu tinggi-tinggi seolah tak rela kehilangan tetes terakhir. Aku tersenyum melihatmu, ya… kamu, sahabatku, sang sunyi. Waktu tak satupun mengerti aku, kamulah yang selalu tetap di sisiku. Kamulah diam dalam lelehan keluhku, kamulah gelas yang pecah dalam setiap marahku, kamulah gema dalam teriakku, kamulah bayangan di setiap langkahku, kamulah senyum di rasa senangku. Kamulah kertas, kamulah grafit, kamulah pena, kamulah nada. Kau pantai, kau angin, kau pasir, kau lampu jalan, kau biji kopi, kau asap rokok. Kaulah sepiku, sahabat sejatiku.


Di sudut kamar kau tersenyum padaku, menyuruhku tidur dan berhenti mengetik tulisan ini. Karena besok…… besok adalah hari sesudah hari ini. (WL)